ChaColatte's❤

HOME ABOUT STUFF BIASES FOLLOW DASHBOARD

안녕 하세요, 친구야~! 애차 박 임니다 ^^




F o l l o w e r g a d g e t ;


© Skin by Atiqah Jaidin inspired by Myra. Image from . Do tell me if I do not credit yours.
Sebiru Langit Biru
Wednesday 19 March 2014 | 0 bubble(s)

SEBIRU LANGIT BIRU

Vesya Talitha Grisheldis


Haiii!!!
Ini adalah cerpen pertama yang dipost di blog ini. Cerpen ini merupakan hasil karyaku yang telah mebuatku meraih juara 1 lomba cerpen tingkat kecamatan dan melanjutkan kembali perjalananku ke kabupaten. Syukur alhamdulillah aku bisa meraih juara 1 lagi dengan cerpen yang berbeda. Aku mengepost cerpen ini karena permintaan dari salah satu kakak kelasku, yaitu Mba Firshani.

Jadi, selamat membaca yaa... Mba Firsha dan juga para readers blog ini ^^
Dan aku harap kalian ga nge-copy-paste cerpen ini tanpa izin dari aku, sama aja plagiat lho ;)
Comment sangat aku harapkan setelah kalian membacanya :D

_______________
__________________________________________

                Matahari terasa menggelitik mataku untuk membuka mata. Sinarnya telah masuk melalui celah-celah jendela. Aku yakin ibu telah membuka gorden kamar sejak subuh tadi. Jauh sebelum aku bangun karena diganggu sinar kuning keemasan yang menyilaukan mataku.

                Aku mengerjapkan mataku berulang-ulang. Yang kuingat kemarin aku terlempar jatuh dari sepeda motor yang kugunakan. Tubuhku mati rasa saat itu, mungkin karena begitu sakitnya. Dan setelah itu aku tidak ingat apapun lagi. Namun kini aku mendapatkan diriku di ruangan serba putih ini. Tidak ada dinding berlapis wallpaper ungu berhias poster-poster idola kesayanganku. Hanya dinding putih bersih yang sangat membosankan.

                Aroma obat-obatan khas rumah sakit menusuk hidungku begitu aku menghirup udara dalam-dalam. Aku mendengus kesal. Ingin rasanya aku cepat-cepat pergi dari ruangan terkutuk ini. Kulirik jarum infus yang tertancap di tangan kiriku. Kalau aku sudah gila mungkin jarum itu sudah kulepas paksa saat ini.

                “Selamat pagi, putri kecilku,” suara lembut itu membuatku menoleh ke ambang pintu. Seorang wanita paruh baya tersenyum hangat menghampiriku seraya membawa nampan berisi makanan yang aku yakin tidak menggugah selera sama sekali.

                “Aku… Di rumah sakit?” tanyaku perlahan.

                Ibu kembali tersenyum dan mengusap lembut rambutku. “Iya, Nak. Kau mengalami kecelakaan kemarin. Syukurlah kau hanya mengalami luka ringan.”

                “Kapan aku bisa keluar dari sini?” tanyaku pada ibu.

                “Ibu harap secepatnya. Karena ibu tahu putri ibu yang manis ini tak suka berlama-lama di ruangan ini,” sahut ibu lembut.

                Aku tersenyum kecil. Aku mencoba duduk dan bersandar pada ranjang. Tapi, aku merasakan sesuatu yang aneh di kakiku. Aku tak merasakan apapun saat ibu meletakan nampan diatas pahaku. Kucoba menggerakan jemari kakiku, tapi kenapa tidak bisa?

                “Ibu!” seruku tertahan.

                Ibu terkejut mendengar seruanku. “Ada apa, nak?” tanyanya khawatir, terlihat raut cemas terukir di wajah ayunya.

                “Bu! Kakiku! Apa yang terjadi dengan kakiku?!” seruku takut. Beribu bayangan mengerikan mulai bergentayangan dipikiranku. Namun aku mencoba tenang dan berusaha menyingkirkan segala pikiran buruk itu.

                Ibu mencoba tersenyum lembut setelah mendengar pertanyaanku. Beliau mengusap rambut hitam panjangku dan berbisik lirih. “Bersabarlah putri kecilku…”

                Aku semakin takut ibu berbisik begitu. Kembali aku mencoba menggerakan kakiku, tapi tetap tidak bisa. Aku menatap ibu penuh harap dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
                “Ibu… Katakan padaku… Apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua kakiku?”

&&&

                Aku terisak keras di taman belakang rumah sakit. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi padaku. Bagaimana bisa? Aku yang sebelumnya memiliki tubuh tinggi semampai, berwajah cantik, dan merupakan anak populer di sekolah harus menerima kenyataan kalau aku tak bisa berjalan dengan normal lagi. Aku lumpuh. Sampai akhir hidupku aku harus melakukan segalanya dengan kursi roda.

                Angin menyapu lembut permukaan wajahku. Mencoba untuk mengeringkan air mata yang terus mengalir dari kedua mataku. Tapi kurasa angin itu tak berguna. Air mataku tetap saja mengalir dan tidak mau berhenti. Karena hatiku terus menjerit dan memerintah air mataku untuk tetap turun membasahi pipiku.

                “Menjadi lumpuh bukan akhir dari segalanya, nak. Kau masih bisa melanjutkan hidupmu, jalan hidupmu masih begitu panjang… Kau belum tahu apa yang akan terjadi esok padamu…” ujar ibu lembut seraya mengusap pipiku.

                “Melanjutkan hidup? Ibu bilang aku masih bisa melanjutkan hidup? Tentunya hidup dengan tidak normal lagi karena harus menggunakan kursi roda kemanapun aku pergi!” jeritku marah. Aku melempar nampan sarapan pagiku sehingga isinya berhamburan ke lantai. Kulepas dengan paksa jarum infus yang menancap ditanganku, lalu mencoba bangun meraih kursi rodaku dan menjalankannya keluar kamar. Telingaku terlalu tuli untuk mendengar seruan ibu. Yang kupikirkan saat ini hanyalah tempat sepi untuk menenangkan diriku.

                Aku kembali terisak mengingat kejadian tadi. Dalam hati aku merasa menyesal karena telah membentak ibu. Dan aku masih merasakan nyeri bekas jarum infus yang kulepas secara paksa. Tapi aku tak peduli. Toh itu tak senyeri hatiku untuk menerima semua kenyataan ini.

                “Kakak menangis?” sebuah suara menyadarkanku dari lamunanku.

                Aku mengerjapkan mataku dan mendapati seorang gadis kecil tengah menatapku penuh iba. Oh, apakah diriku terlihat begitu menyedihkan sehingga gadis kecilpun sampai iba kepadaku?

                “Ti..tidak..” jawabku gugup. Aku mengusap kasar kedua mataku. Lalu mencoba tersenyum menatap gadis kecil dihadapanku, meyakinkannya kalau aku tidak menangis.

                “Tapi mata kakak sembab. Apakah ada sesuatu yang membuat kakak sedih?” Tanya gadis kecil itu.

               Aku tersenyum perih mendengar pertanyaan yang ditujukan padaku. Dengan perlahan aku mengangguk. Ya Tuhan, mengapa aku bisa terlihat begitu lemah bahkan dihadapan gadis kecil sekalipun?

                “Apa itu?” Tanyanya antusias, “kalau aku boleh tahu,” lanjutnya lagi.

                Aku menghela napas dalam. Menghirup sebanyak-banyaknya udara segar di taman ini. Haruskah aku bercerita kesedihanku pada gadis kecil dihadapanku?

                “Aku… Aku tak bisa berjalan lagi… Aku lumpuh… Itu yang membuatku sedih… Mengapa Tuhan tidak adil kepadaku?” bibirku bergetar saat mengucapkan hal itu. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan air mataku yang dalam satu kejapan bisa kembali membasahi pipiku.

                Gadis kecil itu mengangguk mengerti. Perlahan senyumnya mengembang dan menatapku hangat. Gadis kecil itu begitu bersahaja dalam balutan jilbab birunya. Entah mengapa hatiku merasa tenang menatap wajah teduhnya itu.

                “Kakak tidak boleh menyalahkan Tuhan. Tuhan membuat kakak lumpuh karena Tuhan menyayangi kakak. Tuhan ingin kakak menjadi lebih baik, jadi kakak jangan bersedih, ya?” ujar gadis kecil itu.

                “Menjadi lebih baik? Bahkan aku merasakan diriku begitu buruk dengan tidak bisa berjalan lagi…” kataku lirih.

                Gadis itu menggenggam tanganku erat. “Kak, apa bedanya tidak bisa berjalan dengan bisa berjalan? Semuanya sama saja di mata Tuhan. Hanya takwa yang membedakan kita semua, fisik kita tidak akan berarti tanpa adanya takwa.”

                Aku terdiam mendengar kata-kata gadis kecil itu. Aku merasa malu pada diriku sendiri yang begitu mementingkan fisikku. Sedangkan gadis kecil itu mengatakan bahwa fisik tak berarti tanpa adanya takwa.

                “Tapi aku cacat, aku tak lagi cantik dengan tidak bisa berjalan,” elakku lagi. Bagian sisi hatiku masih tidak bisa menerima ucapan gadis kecil itu.

                “Kakak hanya belum mengerti arti cantik yang sebenarnya,” ucap gadis kecil itu.

                Aku membulatkan mataku. Sebenarnya siapa gadis ini? Mengapa begitu pintar menyeramaihku dan membuatku sedikit membenarkan ucapannya. Aku semakin antusias mendengarkan gadis ini berbicara.

                “Disini,” gadis itu menunjuk dadanya. “Disini, yang menentukan cantik tidaknya seseorang. Cantik yang sesungguhnya itu dilihat dari hati. Kecantikan wajah akan berkurang dari hari ke hari, tapi kecantikan hati akan abadi. Kecantikan hati kakaklah yang terpenting, dan kakak bisa membawanya sampai akhirat nanti.”

                Aku kembali terdiam. Tertegun dengan ucapan gadis dihadapanku ini. Gadis itu tersenyum manis saat menyadari aku menatapnya lekat.

                “Oh ya, aku Biru. Kakak siapa?” Tanya gadis kecil itu riang. Biru, jadi namanya Biru..

                “Audy,” sahutku, masih tertegun pada gadis kecil itu.

                “Baiklah, aku pergi dulu ya, Kak Audy. Sampai jumpa!” Biru, gadis kecil itu tersenyum lebar sebelum membalikkan badannya dan melangkah pergi.

                Biru, gadis itu begitu menenangkan seperti birunya langit. Perlahan aku tersenyum. Bahkan senyum hangatnya masih terukir dipikiranku. Dia bilang ‘sampai jumpa’ kan? Berarti akan ada pertemuan selanjutnya. Aku akan menunggumu, gadis kecil.

                Aku membalikkan kursi rodaku. Diriku merasa begitu ringan setelah bertemu dengan Biru. Hatiku sudah bisa sedikit menerima kenyataan yang terjadi padaku. Toh, kata Biru setiap manusia itu sama, kan dihadapan Tuhan?

                Ibu memelukku erat saat menemuiku sedang menyusuri lorong rumah sakit. Kulihat raut cemasnya berubah bahagia saat melihat senyum terukir dibibirku. Aku merasa sangat bersalah karena telah membuat ibu cemas.

                “Maafkan aku, Bu…” ujarku perlahan.

                Ibu menggelengkan kepalanya dan tersenyum hangat. “Tidak apa-apa, Nak. Yang penting tidak terjadi apa-apa dengan putri ibu yang cantik ini.”

                Aku tersenyum menatap ibu. Tapi, mengapa aku merasa tidak pantas disebut cantik?

&&&

                Sore ini aku kembali ke taman belakang rumah sakit. Tentunya kali ini dengan jarum infus kembali menancap di tangan kiriku. Keadaanku masih belum stabil. Tapi aku bersikeras untuk pergi ke taman ini, menemui sahabat kecilku yang bersahaja, Biru.

                Sudah hampir setengah jam aku menanti Biru datang. Perawat yang membawaku kemari pun sudah berkali-kali memintaku untuk kembali ke kamar rawatku. Tapi aku tidak mau. Aku yakin Biru akan datang sebentar lagi.

                “Kak Audy!” seru seseorang dari belakang.

                Aku membalikkan kursi rodaku dan mendapati Biru tersenyum lebar seraya berlari kecil menghampiriku. Mataku berbinar senang dan menyambut kedatangan Biru dengan gembira. Wajah manisnya terlihat lebih bersahaja dengan jilbab putih yang dikenakannya. Wajahnya begitu bersinar, bahkan lebih bersinar dari mentari pagi yang selalu mencoba memasuki celah mataku agar aku terbangun dari tidurku.

                “Biru! Aku sudah menunggumu hampir setengah jam, akhirnya kau datang juga,” kataku senang.

                Biru meringis. Memamerkan sederet gigi putih bersihnya dan menggaruk belakang kepalanya. “Hehehe… Maafkan aku, Kak Audy.”

                “Tidak apa-apa, Biru,” ujarku tersenyum.

                Biru tersenyum lebar. Dia memperhatikan rambut hitamku yang terurai panjang. Sorot matanya sedikit sedih. Aku memperhatikannya heran, ada apa dengan rambutku? Apakah ada yang salah dari rambutku sehingga membuatnya sedih?

                “Biru, kau kenapa?” tanyaku heran.

                Biru buru-buru menggelengkan kepalanya dan kembali tersenyum lebar menatapku. “Tidak apa-apa kok. Aku hanya sedikit melamun.”

                Aku mengangguk mengerti. Pandanganku mengarah pada tangan Biru yang menggenggam kantung plastik putih. “Biru membawa apa?” tanyaku penasaran.

                Biru menoleh pada tangan kanannya. Dia membulatkan matanya dan tersenyum riang. “Oooh iya! Hampir lupa! Ini buat Kak Audy. Kak Audy akan terlihat semakin cantik dengan ini.”

                Biru menyodorkan kantung plastik itu dihadapanku. Dengan penasaran aku menerima bungkusan plastik itu dari Biru. Aku menatap biru dengan tatapan ingin tahu apa yang ada didalam kantung plastik ini.

                “Buka saja, Kak,” kata Biru seraya tersenyum manis, seakan mengerti tentang maksud tatapan ingin tahuku.

                Dengan perlahan aku membuka kantung plastik dari Biru. Sebuah kain putih bersih. Aku merentangkan kain itu dan terkejut ketika tahu kain putih itu adalah jilbab. Sama seperti yang digunakan Biru sore ini.

                “Maaf ya, Kak. Jilbabnya jelek, tabungan Biru tidak cukup untuk membeli yang bagus. Tapi Biru yakin kakak akan semakin cantik dengan jilbab ini,” ujar Biru dengan tulus.

                Mataku berkaca-kaca mendengar ucapan Biru. Ya Tuhan, terima kasih telah menghadirkan Biru dalam hidupku. Dia bagai malaikat kecil yang dikirim Tuhan untuk menyadarkanku. Aku memeluk jilbab putih dari Biru seraya tersenyum haru.

                “Tidak, Biru. Jilbab ini sangat indah. Terima kasih, ya,” kataku terharu.

                “Sama-sama Kak Audy. Semoga jilbab ini bisa bermanfaat untuk kakak. Meskipun aku tahu kain jilbab ini tidak sebagus kain baju-baju kakak. Hehehe…” Biru tersenyum lebar.

                Tidak, Biru. Jilbab ini bahkan lebih indah dari gaun ulang tahunku yang dibeli langsung dari Paris.

               “Kak Audy, aku pamit dulu, ya. Aku mau pulang. Sudah ada yang merindukanku dan menginginkanku untuk kembali. Aku akan kembali menemui kakak kalau sempat. Tapi kalau tidak, semoga kita bisa bertemu kembali disana. Sampai jumpa, Kak Audy!”  ucap Biru, senyumnya mengembang lebar dan wajahnya lebih bersinar dari sebelumnya.

                Aku mengangguk dan tersenyum kecil. Menatap tubuh Biru yang melangkah menjauh dariku. Aku bahkan masih merasakan kebersahajaannya Biru walau tubuhnya semakin mengecil dalam pandanganku. Aku tidak sabar untuk kembali bertemu Biru besok sore.

&&&

                Aku menatap pantulan diriku di cermin. Tidak ada lagi rambut hitam panjang yang terurai melewati batas bahuku. Tapi hanya terlihat wajahku yang berbalut jilbab putih pemberian Biru. Aku merasakan rasa sejuk dikepalaku. Seakan jilbab ini sudah berada dalam pengaruh Biru sehingga sangat menyejukkan.

                Ibu bahkan menangis haru saat aku bilang memantapkan diriku untuk menutup aurat mulai saat ini. Ya, aku ingin memperbaiki diriku. Aku ingin menjadi sosok yang bersahaja seperti Biru. Dan, sore ini aku akan menemui Biru kembali.

                “Audy!” seru ibu. Aku menoleh kearah ibu. Aku membulatkan mataku heran saat ibu berlari menghampiriku dan memelukku erat.

                “Biru… Biru… Biru sudah pergi, Nak…” bisik Ibu.

                Aku tertegun mendengar bisikan ibu. Biru… Sudah pergi?

                Mataku berkaca-kaca saat kulihat Biru terbaring kaku dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya. Ibu yang mengantarkanku kemari beberapa saat yang lalu, beserta Ibu Biru yang membawaku masuk ke ruangan ini.

                “Biru… Dia mengidap kanker otak stadium akhir. Mungkin karena keajaiban Tuhan, Biru masih bisa bertahan hingga saat ini… Tapi… Dia… Dia…” Ibu Biru terisak dan tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ibu yang menenangkannya sementara aku masih terdiam kaku dengan mata berkaca-kaca dan bibir yang bergetar menahan tangis.

                Kak Audy, aku pamit dulu, ya. Aku mau pulang. Sudah ada yang merindukanku dan menginginkanku untuk kembali. Aku akan kembali menemui kakak kalau sempat. Tapi kalau tidak, semoga kita bisa bertemu kembali disana. Sampai jumpa, Kak Audy!

                Aku tidak bisa menahan tangisku lagi saat kata-kata terakhir Biru kembali terngiang dipikiranku. Biru, jadi ini maksudmu ‘bertemu kembali disana’? Aku meremas jilbab putih pemberian Biru. Pemberian gadis kecil yang membuatku mengerti akan arti hidup yang sesungguhnya. Gadis kecil yang mengajariku bahwa fisik semua manusia adalah sama di mata Tuhan. Biru, gadis kecil itu benar benar sebiru langit. Sebiru langit biru yang memberi ketenangan hati hanya dengan menatap wajah bersahajanya.

                Biru, terima kasih atas pertemuan singkat kita. Aku janji akan menjaga jilbab ini baik-baik. Dan menjadi sosok bersahaja seperti dirimu. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaikNya untukmu, kawan kecilku. Dan, semoga kita juga dapat bertemu kembali disana.
Kalau Tuhan mengizinkan kita.


THE END

Labels: , ,